a wintery chill, a wondrous solitude, so sacred in which loneliest revelations and a series of cruel judgment of things you still struggle to tame occur. Once again. The battle between you and yourself, the authoritarian mind, the occupier, the dictator and the already torn and bleeding soul, slowly growing from too protected a past, leaving the physical self clueless. Making the mind scold again in the most offensive voice. LEAVE ME ALONE! I am trying to be kind to my self, repairing her bended shoulders and wiping her tears It is okay
The chills the nightmares of free falling inside a broken elevator the elephant, the triumphant the cold the cold and merciless world leaves the chills chiller and crueler and lonelier Stop judging Start rising. Like dust, WE RISE!
Sabtu pagi ini adalah akhir pekan pertama setelah 10 hari bersama dengan keluarga. Sambil membaca buku cetak yang kupilih sendiri saat mendapat THR, aku kembali diingatkan pada dalamnya semesta perasaan. Dahulu, saat sedang studi master, aku dikenalkan pada karya klasik atau karya yang konon adalah kanon. Saat itu aku sangat takjub pada betapa mengejutkan dan menyenangkannya berinteraksi dengan karya-karya bagus, reflektif, dan memicu kesadaran spiritual. Tapi saat ini aku menyadari bahwa karya-karya sastra yang dikurasi untuk pembelajaran kami mayoritas ditulis lelaki. Meskipun ada George Elliot dan beberapa penulis sastra persemakmuran yang perempuan, semisal Anita Desai, tetap saja proporsi laki-laki jauh diatas penulis/penyair perempuan.
Dahulu kupikir hal tersebut normal saja. Tapi semakin dewasa aku semakin mempertanyakan pihak dibalik kurasi kanon-kanon untuk dipelajari di tingkat universitas. Mengapa sebabnya? Tentu karena semesta perasaan dan pengalaman perempuan mustahil dideskripsikan dengan perspektif laki-laki. Misal, rasa sakit fisik dan kelelahan mental pengalaman menstruasi perempuan hanya bisa dijabarkan dari yang mengalaminya. Beban berat prokreasi dan dampaknya yang melingkupi kebutuhan fisik, mental, spiritual perempuan juga tidak mungkin disampaikan dengan gamblang jika tidak pernah merasa sendiri. Belum lagi beban berat standar-standar kecantikan dan apa yang harus dan tidak boleh dicapai perempuan di batas usia tertentu. Meski yang satu ini juga dialami laki-laki, namun tetap saja kita membutuhkan bacaan yang berasal dari perempuan dengan segala keterbatasan dalam berkarya di luar ranah keluarga sebagai warisan patriarki di segala lini.
Buku kumpulan esai The Weird Sister memantik pertanyaan-pertanyaan itu untuk mengemuka di pagi akhir pekan ini. Mau tidak mau aku jadi merefleksikan hal-hal banal dalam rutinitasku sebagai perempuan, istri, ibu, dan pekerja. Beberapa kecemasanku bekerja jauh dari keluarga adalah mengenai apakah aku dapat memastikan diriku tetap menjadi istri dan ibu yang baik. Kecemasan lain mengemuka dalam bentuk isu finansial, akankah aku mampu mempunyai properti untuk tempat berlindung keluarga kecilku jika suatu hari nanti kami diizinkan kembali bersama? Belum lagi beban mental tak terlihat yang dibawa di punggungku dan kolega-kolega yang sama-sama sedang berjuang. Mau tidak mau aku kembali mengunjungi ajaran hidup berkesadaran mengenai orang-orang (kebanyakan dengan kekuasaan) yang mungkin menyakiti. Apa trauma yang menyebabkan mereka demikian?
Barb Schmidt dalam salah satu postingannya menjelaskan alasan orang berlaku tidak baik. Salah satu yang perlu diingat adalah orang yang tersakiti biasanya memiliki kecenderungan menyakiti orang lain. Dan saat diperlakukan tidak baik oleh sesiapa pun, tetap tenang dan rapalkan, “Apa yang mereka lakukan tidak mencerminkan diri ini sama sekali, melainkan diri mereka sendiri.” Jangan berkecil hati yaa.
Kepada semua keluarga, teman, ataupun kolega yang sedang berjuang dengan beban mentalnya masing-masing, semoga tetap kuat ya. Ingat, kita tidak didefinisikan oleh profesi, harta, kekuasaan yang sementara, kita adalah makhluk yang dapat berganti peran dengan luwes. Oleh karena itu penting sekali untuk menyebarkan kebaikan. Tetap jadi baik ya, meski dunia terasa menyakitkan dan membuat seluruh beban hatimu memenuhi rongga dada. Yang sehat senantiasa sehat, yang sedang sakit segera sehat, dan yang berduka semoga Tuhan kuatkan dan sanggupkan melewati gelombang lara.
Sudah kubilang perempuan memiliki kapasitas cawan yang cukup untuk membiarkan tumpahan perasaan menemukan ruang aman untuk berriak. Sambil tetap melakukan pekerjaan domestik bersih-bersih, mencuci, atau merebus air untuk menyeduh kopi, tiap-tiap kita sebagai pejuang, tetap dapat menikmati hari. Tadi pagi aku melihat mata bulat monster yang sedang kumpul-kumpul di pinggir panci listrikku, dengan jenaka mereka membentuk lengkung seolah permukaan panci yang bulat memiliki simpul senyum. Hahaha.. Mencipta gembira sederhana saja. Mau lihat?
To infinity and beyond was what I thought when I saw a rubber band shaped like a number eight on my desk. I can’t help but think about the word ketidak-kekalan. Let me write in Indonesian then. Or maybe both English and Indonesian.
Sejak kembali ke Jember, selain tubuhku terasa begitu lelahnya, aku juga merasa hatiku sedikit berat. Rasanya terlalu banyak yang kucemaskan. Salah satunya ketidakkekalan. Tentu saja hanya orang merugi yang melawan perubahan karena sejatinya perubahan beraifat kekal. Tapi aku tidak dapat mengabaikan rasa cemas mengenai keberadaanku yang mungkin sementara. Meski aku tahu tugasku hanya mengontrol yang ada dalam jangkauan, aku tetap saja memikirkan apa yang mungkin orang lain pikirkan mengenaiku. Apakah keberadaanku mengusik status quo? Mengapa aku ada di sini? Kekuatan macam apa yang bisa melindungiku dari perubahan? Pertanyaan-pertanyaan semacam ini kerap datang meski tidak butuh jawaban.
Rasanya letih tapi mesti ada nilai yang bisa dipetik dari pengalaman menjadi anomali di sini. Ketidakkekalan justru mungkin mendorongku untuk senantiasa memberikan yang terbaik. Kondisi mepet jurang juga mungkin merangsang kreativitasku untuk semakin gigih memperjuangkan mimpi yang belum bisa diwujudkan tersebab banyak hal di masa lalu. Tetapi kadang rindu merasakan tenang dan aman. Ah, bukankah manusia diciptakan selalu berkeluh kesah? Kurasa Tuhan sedang tertawa jenaka melihatku yang setengah ingin menangis setengah tegar ini.
Aku sempat kehilangan antusiasme dalam melakukan skin care routine selama beberapa bulan. Padahal dulu, rutinitas itu lah yang kutunggu-tunggu sehabis berjibaku dengan pekerjaan. Aku sangat takjub betapa keras perjuanganku di lingkungan baru. Oleh karena itu kurasa tidak berlebihan jika aku menatap bayanganku di cermin sambil tersenyum, berterima kasih pada ketegaranku selama ini. Mari jadikan petualangan ini menyenangkan. Tidak usah memikirkan ketidakkekalan terlalu dalam, bukankah nyawa manusia juga tidak kekal? Let’s make the best adventure and enjoy the bumpy ride. I am so thankful I am still alive.
I feel like this is my first ever Ramadan alone very far away from my family but also not that very far. We are on the same island, I am not overseas this year. I asked Allah to help me get closer to Him. Maybe the least I can do is practice zikr, recite quran, and talk to Him in my prayer. I do not want fancy things, I just want my heart to feel His love and presence. Habib Jafar Husein stated in one of his podcasts that the way in which Allah calls his beloved to get closer to Him is through adversity. It can be in the form of illness, hardship, grief, and maybe longing. Many a time I come to him when my heart aches I lose my ability to feel. And it now emerges through a longing to be protected since I think I am too vulnerable to protect myself. In that case, Allah talks to me in His parental voice. It feels like I talk to my own parents. Sometimes I cry like a kid and ask Him to soothe me. I can sense that He pats my soul, hugs it, and says everything will be fine, “I am here now, hush, don’t you be sad, Little Darling.” I almost can hear Him say. My tears will fill the chasm from which the heavy burden is lifted.
Dear Allah, we have come to the last 10 days of Ramadan, even though this is not my most festive Ramadan, I can finally be with myself, retreat within, and find You in return. This Ramadan I am not surrounded by familiar faces, customs, and dishes, but in my simple alone life, I can have abundant sessions talking to You in my surrender. How hard it is to believe and surrender to Your plan but You keep assuring me that I have come this far hence I deserve to live worry-free. Dear Allah, look at the stream falling freely, let that be enough when all words fail me. Alhamdulillah, I surrender completely. Please take care of me.
Talking about a part of me that has been lost throughout my adulting journey, I suddenly met that long-lost identity back. How so? After vibing with JT’s NPR concert video below.
I must admit that I was no fan of him but after his Mirror hit around 2013, I can’t take my ears far from his music. His 20/20 album has always been with me through thick and thin, from my heartbroken and my in-love experiences. And his ability to create such an enjoyable mini-concert awakens my youth era. I danced and forgot the real world a little. How I miss dancing at music concerts!
Pusher Love Girl and Selfish are my most favorite tracks but who knows I can dance to that least favorite Sexy Back? He is a pure entertainer indeed, that JT guy. Even so, I still can recognize JT’s lack of closeness with his band, since he didn’t spend his precious time introducing the band’s members’ names one by one. I guess he was being ignorant and that was utterly discouraging. Be more respectful next time please, JT!
Nonetheless, music can always lift me up and also accompany my saltwater moment (read: cry). And this virtual concert has somehow let me meet my younger self when I was still carefree, funny, and humorous. I forget how to make my friends laugh, though, being an adult is absolutely necessary but sometimes I miss my happy-go-lucky me. Thank you, JT, for bringing back the fun tonight.
Out beyond ideas of wrongdoing and rightdoing, There is a field. I’ll meet you there.
When the soul lies down in that grass, The world is too full to talk about. Ideas, language, even the phrase each other Doesn’t make any sense. — Rumi English version by Coleman Barks and John Moyne
Oh dear self, thank you for striving even when the walls are too strong and high to jump on. Some days are hard and some days are soft and vulnerable. It is a life we are talking about. Of course, it is going to be fluctuating. I thank myself and the people who help me whether they do it in my knowledge or out of it. I deeply thank you.
The thought of vanishing into thin air keeps coming back. On some hard days my body shivers, and my heart gets heavy as if there were a dragon ready to fly and rage. However hard my days get at times, I always regain my replenishing reassurance that I deserve this path. I heard God said, “bear a little more, kid. You’re almost there.” Only God knows how hard I fight in my silence. But let us not avoid our belief that everything will eventually be alright. Do not worry, all my good deeds are accepted and I can rest. Let me rest, my dear God, from the hustling of the day, getting cocooned at night under your starry sky.
Tidak biasa-biasanya siang itu, di satu hari di bulan Februari, aku memutuskan pulang dengan berjalan kaki sambil memasang headphone di kepala, mendengarkan album Forest in the City-nya UMI. Saat itu pukul 13.30, matahari sedang terik-teriknya. Tapi aku butuh jalan kaki karena perasaan sedang babak belur. Jalan kaki saja mungkin sudah biasa, namun sambil mendengarkan musik? Mestilah sedang ada badai di semesta perasaanku. Sebab aku bukan orang yang gemar mendengar musik di keramaian, telingaku sakit, namun di beberapa kasus, siang itu salah satunya, anomali itu menjadi selayaknya kebutuhan. Aku ingat, saat melewati depan kantin FKIP, ada sebuah kupu-kupu kecil yang terbang di dekat rerumputan. Beberapa kali juga aku berpapasan dengan gerombolan semut yang nampak sedang menjalani hari mereka yang sibuk. Ternyata bukan hanya semesta perasaanku saja yang eksis, ada banyak hilir mudik kawan-kawan makhluk lainnya yang berseliweran di sekitarku. Apakah kemudian berjalan membuat perasaanku lebih baik? Mungkin tidak secara instan, namun melalui aktivitas tersebut setidaknya aku tidak merasa sendirian.
Rowan Atkinson, dalam salah satu wawancara, menyampaikan, hidup ini tragedi jika dilihat dari dekat, namun komedi jika dilihat dari jauh. Aku tersenyum, benar juga. Sudah berkali-kali aku membongkar nilai yang kuyakini merupakan kebenaran absolut: menjadi dewasa bermakna menekan luapan emosi berat seperti marah atau sedih ke relung paling tersembunyi di hati. Aku teringat pelajaran spiritual mengenai penyembuhan diri, bahwa kita tidak mungkin benar-benar mengobati luka hati hasil trauma masa kecil dengan menganggap bahwa semua baik saja, meski saat kita mengalami hal yang membuat sesak dada. Hal tersebut disebut emotional bypassing. Kita tidak mesti terus menerus merasa bahagia, baik-baik saja, dan menafikkan bahwa kadang di satu episode kehidupan, hati kita terasa lara, atau rasanya ingin marah karena suatu hal. Kita boleh merasakan dan menyalurkan perasaan tersebut dengan cara yang aman. Mungkin salah satu strategiku adalah dengan berjalan kaki, mendengarkan musik, dan membiarkan perasaan tersebut tumpah di ruang aman.
Meski dalam keadaan berkabung, pikiranku terus mendesak untuk segera membuka laptop. Ada banyak pekerjaan yang harus dilakukan. Bukan, bukan untuk membuat orang lain terkesan, tapi bentuk tanggung jawab dan integritas. Alih-alih mendengarkan bisik pikiran yang terus mendesak, aku membiarkan diriku rehat dan bersedih. Setelah menyalurkan perasaan berat di dada, hati terasa sedikit lebih lapang. Namun karena proses ini tidak linear, aku menghormati perasaan berat yang kembali dan tidak keberatan meski mesti mengulang prosesi menyalurkan perasaan ini di ruang aman lagi. Aku memang mungkin terlahir dengan kemampuan menampung perasaan-perasaan besar yang melimpah. Saat kecil, aku tidak paham bagaimana menyalurkannya, ditambah dengan kapabilitas pengasuhan orang tuaku yang masih sangat konvensional, sehingga aku belum punya ruang aman untuk memproses perasaan-perasaan besar. Bertumbuh menjadi remaja, aku menemukan ruang aman dengan menulis. Aku ingat pernah dapat hadiah buku self help karena membagi pengalamanku sebagai remaja yang kesulitan memproses perasaanku yang kian besar dan sulit ditaklukkan ke salah satu penerbit. Semakin dewasa, aku mempelajari spiritualitas hidup berkesadaran dan kembali menemukan penguatan heuristis dari ajaran Filsafat Stoic.
Apakah pembelajaranku selama bertahun-tahun dapat memastikanku sudah berada pada tingkat mahir? Tentu tidak akan ada kata mahir tanpa latihan. Tapi salah satu hal yang kurenungkan adalah apa pun keadaan yang membuat perasaan berat datang, aku tidak merasa sebagai korban. Aku punya pilihan untuk tetap berdaya, dengan atau tiada pengakuan eksternal. Keadaanku merupakan sebuah serial sebab akibat yang terstruktur yang membuatku tidak bisa hanya menyalahkan satu atau dua pihak saja. Tapi bukan berarti aku tidak merasa tidak baik-baik saja, tetap saja pihak-pihak yang memiliki daya untuk mengubah sistem namun menolak dan akhirnya melanggengkan ketidakadilan sudah kuadukan pada tuhan. Hahaha… Sehat dan kuat selalu, Warga Kelas Dua. Suatu saat akan ada masanya peristiwa ini menjadi kecil dan remeh, sehingga aku bisa menertawainya dengan perasaan jenaka. Sementara ini mari memilih aktivitas yang merawat fitrah eksistensiku sebagai manusia, belajar dengan gembira.
Bagi pembaca yang sedang berkecil hati, tenang ya, semua akan berlalu. Kutuliskan lirik lagu Rehat dari Kunto Aji untukmu juga,
Tenangkan hati, semua ini bukan salahmu terus berlari, yang kau takutkan takkan terjadi yang dicari hilang, yang dikejar lari biarkanlah semesta bekerja untukmu…
Tapi tak kan tahu rindu jika terus bertemu Tak kenal mahapentingnya berpegangan tangan Jika tak pernah terpisah jarak absurd Betapa indah dan berharganya detik Setiap kedip akan hilang kembali Setiap tawa mungkin kembali sembunyi Tangis pedih dalam diam sendirian lagi
Enjoying my precious leave. Enjoying every bit of it. Cherishing every moment of it. Stay strong, heart, and stay in your power. Do not let others tell you otherwise. Reign like Ulysses: to strive, to seek, to find, and not to yield.
Everybody seems to be against my nickname that I used to be called when I was a lil girl, Ayu. Where is that Ayu from? Look she is lying, her name is not Ayu. Her name is Nur, Nurhadianty, Neneng, whatever. People, particularly new colleagues seem hesitant to call me Ayu. What name is that? It means beautiful in Javanese, but she is not pretty. She has always been called Nurhadianty, yes, that is true. Or Neneng, yes, that is true too. However, I always push myself to stay silent when their mocking eyes, their suspicious and disbelieving face is showcased before me. That will never shake my firm belief that I don’t have to explain my side of the story. Call me what you want, all is true and nothing is wrong. I cherish you. Yes, all of you.
This particular poem is finally here to remind me of how I need to calm my nerves every time I can finally get home from campus. The name Nur is inherited from my grandpop, all of my family members from my mum have it in their name. And it started to be popular only after I got to teach at a higher education institution. Before that my nick name has never been Nur at all. But how do they care? Nur means light, and I am proud of calling myself a light worker.
So where does Ayu come from? That comes from my last name, Rahayu. When I was a lil girl, everybody called me Neng Ayu. Neng is the Sundanese way of addressing a girl, and Ayu is taken from my last name. However, my brother had always teased me with that name, making me hate the name and asking mum to tell everybody that they should call me Neneng instead of Ayu. Hence that was what everybody from school called my name. Even though it used to be familiar, my lecturer during uni protested where did that Neneng come since my name did not have any Neneng at all. After graduating uni, I started to return to introduce my self as Ayu again. And there the name returns.
What about Nur or Nurhadianty? I just let those colleagues from a uni, where I started to work as a lecturer at, to call me so and I had no strength to explain the historical transformation of my nick name. Hence, the name Nur or Nurhadianty started to be popular among my uni colleagues. Call me with name you are comfortable with, whether it is Nur, Nurhadianty, Anty, Ayu, Neneng, yes it is all my name. Call me what you like but please stop staring at me like that again. The sharpness of your gaze always leaves me shivering.